Lupa Pola HP
Lupa Pola HP

Lupa Pola HP

- +
Siang itu, ada SMS masuk. 
“Yok, buka?” Aku memang biasa dipanggil Yoyok di kampung tempatku tinggal, walau sebenarnya nama lengkapku sebenarnya bukan Yoyok, tapi tak apa lah, biar memorable.

“Ya, buka,” balasku. Maksudnya tempat servisku lagi buka. Kebetulan aku adalah tukang servis alat-alat elektronik, termsuk HP.

“Aku ke sana,” balasnya, tapi kubiarkan, karena aku pun juga sedang sibuk dengan barang servisan.

Tak lama kemudian, ada yang datang.

“Eh, sampean, ya, yang SMS saya barusan?” sapaku basa-basi.

“Iya, Yok. Ini HP-ku rusak,” sambil mengeluarkan HP merek ***** dari dalam saku.

“Loh kenapa bisa begini?” Tanyaku juga hanya basa-basi, aku sebenarnya udah tau, ini pasti gara-gara berulang kali pakai pola sandi yang salah.

“Itu tadi dimainin anak saya, kan itu kasih sandi pola, ya maksudku biar anak-ku gak bisa buka, eh taunya udah begini,” sambil nunjuk ke HP yang udah ada di genggamanku.


Terlihat di layar HP meminta memasukkan informasi akun google.

“Masih ingat sandi akun googlenya tidak nih?” Tanyaku.

“Nah, itu dia aku gak tau, Yok.”

Kucoba lakukan pemulihan akun google, ternyata meminta verifikasi kepada suatu nomor HP.

“Nomor ini masih aktif?” Ku tunjukkan nomor hp yang depannya hanya berisi bintang-bintang (censored) dan belakang 193. “Yang belakangnya 193?”

“Itu sudah terblokir, Yok,” nasib, susah nih kalau udah begini.

Tapi sebagai tukang servis aku tak mau menyerah begitu saja.

“Tunggu sebentar ya,” ucapku sambil menyiapkan alat-alat, PC, kabel data, dan segenap yang dibutuhkan.

“Tapi di HP itu ada banyak file penting, Yok. Nanti hilang gak tuh?”

“Aman, tenang aja.” Tanpa babibu aku langsung bekerja. Selang sekitar 10 menit, alhamdulillah HP itu sudah kembali normal.

“Coba cek dulu,” kusodorkan HP itu padanya. Dia pun memaras wajah kegirangan.

“Berapa, Yok?” tanyanya, sambil merogoh beberapa lembar uang dalam sakunya.

“Gak usah, bawa aja,” jawabku sambil melempar senyum.

“Loh, apanya gak usah?” dia pun menyodorkan beberapa pecahan uang kertas padaku entah berapa jumlahnya, namun kuhadapkan telapak tanganku padanya, “Gak.. gak.. gak usah, sudah bawa saja.”

“Pokoknya kalau gak diambil, aku gak mau nyervis di sini lagi,” ucapnya mengancam.

“Lima ribu saja,” aku mengambil satu lembar lima ribuan, sisanya kukembalikan, tapi dia menolak dan memaksaku menerimanya, jadi semua 15rb rupiah. Kalau sudah begini ya mau tidak mau harus aku terima.

Sebenarnya bukan karena apa, aku memang sering tidak menerima ongkos setelah menyervis. Alasanku ada 2, pertama karena pekerjaan memperbaiki alat-alat elektronik memang adalah hobby-ku, dan yang ke dua karena aku ingin membantu sesama hidup.

Aku belajar jadi teknisi secara otodidak, sejak kecil aku memang suka bercibaku dengan alat-alat elektronik. Tak pernah aku ikut kursus atau pelatihan dan sejenisnya. Sekolah pun program studi IPS, dan kuliah jurusan Ilmu Hukum. Aku belajar menyervis dari pengalaman dan percobaan-percobaan setiap waktu, yang kutekuni sejak kecil.

Walau menjadi tuser kadang diremehkan dan banyak diburuksangkakan ambil part dan komponen, tetapi itu tak mematahkan semangatku, yang penting bekerja dengan sebaik mungkin dan yang lebih utama adalah jujur. Aku mendapat kepuasan setiap kali berhasil memperbaiki alat-alat elektronik milik user yang rusak.

Alhamdulillah, Allah memberikan sedikit ilmu ini agar aku pergunakan untuk membantu sesama hidup, membantu meringankan beban sesama hidup. Begitulah.

Sore harinya, kembali kedatangan seorang “user” membawa sebuah lampu.

“Yok, bisa memperbaiki lampu?” Sambil menyodorkan lampu jenis neon 2 jari.

“Rusak bagaimana, Pak?” Basa-basi. Sebagai tuser aku bisa ngecek lah, kerusakannya apa dan bagaimana. Karena aku punya banyak alat yang kubuat sendiri untuk cek kerusakan.

Langsung kueksekusi, ternyata kerusakan ada pada transistor 13001, karena di tempat servisku stock komponen jenis itu lagi kosong, akhirnya aku cari kanibalan. Dalam dunia teknisi, istilah “kanibal komponen” itu dimaksudkan mengambil kompoten dari kit/PCB sisa yang tak terpakai, namun komponen masih berfungsi dengan baik.

Setelah kupasang, kucoba tes nyalakan. Ceklekk … lampu nyala.

“Berapa, Yok?”

“Gak usah, Pak, bawa aja,” jawabku sambil menyunggingkan senyum.

“Kok gak usah, entar kamu rugi,” bantahnya.

“Saya tidak rugi, Pak. Itu komponennya ada sisa tak dipakai, jadi ya daripada mubadzir saya pasang, tapi inysaallah awet kok pak.”

“Tapi kamu kan bekerja.”

“Saya ingin mengamalkan ilmu untuk membantu sesama hidup, Pak.”

“Membantu itu tidak harus Gratisss …,” (menekankan kata terakhirnya) degg … kata-katanya seperti menohok. “Meminta bayaran pun bisa dikatakan membantu.”

“Coba saya Tanya, kamu sejak kapan belajar reparasi elektronik?” lanjutnya dengan bertanya.

“Sejak kelas 3 SD, Pak,” jawabku.

“Coba sekarang hitung, butuh berapa tahun kamu belajar hingga mahir, hingga kau dapat dengan mudah memperbaiki?”

“Ya, sekitar 14 Tahun, Pak, tapi kalau lampu seperti ini sejak kelas 1 SMP sudah bisa, ya sekitar 3 tahunan, gitulah.”

“Nah, proses perjalanan, perjuangan kamu selama itu perlu dihargai, kamu bisa saja ngasih ilmu, ngajarin ilmu itu kepada siapa pun, tapi tetap saja, guru terbaik adalah pengalaman, orang boleh belajar teori, tapi kalau penglaman tak ada ya, percuma.” Jelasnya, beliau ini memang salah satu orang yang ditokohkan di kampungku.

“Hmm … bagaimana kalau saya minta bayaran 150 ribu, Pak, apkah itu masih bisa dikatakan membantu?’

“Hah, itu pemerasan namanya, minta ongkos servis sewajarnya. Jangan karena orang itu bodoh tentang dunia teknologi, lalu kau bodohi dengan meminta bayaran lebih dengan alasan ini itu yang cuma dibuat-buat. Udah terima aja,” dia lalu menyodorkan beberapa lembar uang, aku pun terpaksa menerimanya.

Esok harinya, kembali datang user dengan membawa laptop.

“Yok, bisa perbaiki laptop ya, ini case DVD RW-nya rusak, gak bisa dikeluarin, di dalam ada disc-nya.”

“Itu kan ada tombol di samping, kenapa gak dicoba?”

“Sudah tapi gak bisa, di eject sudah, tapi tetap gak bisa,” jelasnya. “Bisa kan? Kayaknya harus dibongkar ini.”

“Aku cek dulu.”

Pertama kuperiksa driver-nya, karena curiga ini masalah driver, namun ternyata driver terinstall dengan baik, berarti kemungkinan kerusakan ada pada hardware. Tanpa babibu lagi, ku ambil penjepit kertas, kutusukkan pada lubang tepat di bawah pintu care DVD, Klek … keluar dikit. Kutarik perlahan dengan sangat hati-hati. Berhasil. Ternyata kepingan CD tidak terpasang dengan baik, sehingga menyebabkan terjepit karena ruang sempit. Kucoba pasang kaset CD dengan benar, tutup, dan serrrrrr … kuperiksa DVD RW Drive (F:) Alhamdulillah file pada CD terbaca dengan baik.

“Bisa, Yok?”

“Alhamdulillah, bisa.” Jawabku sambil memberikan laptop padanya.

“Shippp … Ini, Yok, Makasih ya,” dia meletakkan sebuah amplop di atas meja kerjaku. Lalu pergi. Semntara aku membereskan alat-alat di tempat kerja yang berantakan.

“Apa ini?” tanyaku, namun tak dijawab, malah melajukan motornya sambil berucap, “Aku pulang, Yok, Assalamualaikum … ”

Penasaran dengan amplop tadi, kubuka perlahan, betapa terkejutnya, ternyata aku dismbut dengan dua bapak founding father negeri ini Soekarno Hatta, satu lembar uang pecahan 100rb. Barangkali ini bagi tuser lain, masih kurang dan terlalu sedikit, tapi bagiku ini sudah terlalu banyak, apalagi aku hanya bekerja tidak sampai 30 menit. Rasa gak enak tetap ada, tapi ya mau bagaimana lagi harus tetap diterima.

Catatan:
Tuser : Tukang Servis
User : Sebutan untuk pelanggan atau pengguna barang elektronik

Diperbarui
Tambahkan Komentar
Lupa Pola HP

Lupa Pola HP