Karma via https://arthritisashley.com/2017/01/13/karma-and-illness-thats-a-nope/ |
Yang paling menjengkelkan adalah soal teman cewekku. Dia mempunyai tubuh yang agak jangkung. Matanya lebar, dan ada tahi lalat dekat bibirnya. Kalau dia lagi marah matanya makin melebar bagai mata sapi, mulutnya mendesis-desis bagai ular. Wajahnya menjadi merah, semerah cabe rawit. Dalam keadaan seperti itu ia nampak srigala yang siap menyantap mangsanya. Aku tidak perlu kasih tau namanya, takut tersinggung. Soalnya dia tuh orangnya sensitif dan mudah tersinggung. Bisa-bisa nanti dia mengamuk kepadaku. Memukul dan segala macam. Sebut saja dia pete‘(anak ayam: Madura). Kelakuannya memang seperti pete‘ suka nyolpe‘.
Suatu hari aku ikut diskusi antar pelajar bersama teman-temanku. Waktu aku mau pulang, dia merengek-rengek di depanku meminta dianterin pulang. Aku jadi bingung. Dia kan bukan mahram denganku. Apalagi dia sudah punya tunangan, entar terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi kalau tidak dianterin, kasihan. Bagaimana pun juga ia adalah temenku.
Dia pun terus mendesakku. Akhirnya aku iyakan saja kemauannya. Dia bilang dia akan menungguku di dekat rumah temanku. Kubiarkan saja mereka pulang lebih awal, teman-temanku kan antar jemput dengan mobil. Bayangan mobil yang mereka tumpangi segera lenyap ditelan kendaraan-kendaraan di belakangnya. Ku kejar mereka dengan menggunakan motor Alfa-ku yang jelek. Agak sedikit malu sih, tapi mau gimana lagi wong itu sudah adanya.
Kulakukan sepeda motorku secepat mungkin. Kutarik gas dengan sekuat tenaga. Pohon-pohon di pinggir jalan sampai terpental-pental terkena angin sepeda motorku. Rumput-rumput pun pada menutup telinga karena bunyi motorku yang nyaring. Sampai di pertigaan Pala’angan, kubelokkan motorku ke utara menyurusuri jalanan desa lebarnya tidak lebih 2 meter. Setelah sampai di rumah temenku yang dimaksud tadi, ternyata ia tidak ada. Aku mencoba menunggunya barang sebentar. Orang-orang pada melihatku dengan keheranan, karena aku tidak biasa tmada di tempat itu. Aku pun tidak tahan lagi. Setelah sekian lama menunggu, dan tak kunjung datang. Aku menjadi ragu, jangan-jangan dia sudah pulang.
Akhirnya aku putuskan untuk pulang ditemani rasa kesal dan kecewa karena merasa dipermainkan. Tapi di suatu sisi aku juga gembira. Gimana enggak? Bayangin saja kalau seandainya aku jadi nganterin dia. Terus aku berpapasan dengan salah seorang tetanggaku. Wah kan ribet jadinya. Bisa-bisa nanti aku dikira main serong. Semua orang kan pada tahu kalau aku ini pemuda alim, bisa dikatakan aku siswa paling alim di sekolah. Haha…
Hari demi hari terus berganti. Kulihat dia sudah mulai menampakkan wajah yang tidak bersahabat denganku. Apa salahku? Kukira aku tidak salah apa-apa. Tiap kali aku melihatnya, dia selalu membalas dengan wajah yang dingin. Ah menyebalkan.
Aku bener-bener dibuatnya kesal. Aku ingin dia segera mengubah sikapnya itu kepadaku. Bukan karena aku ingin mencampuri wliayah pribadinya. Tapi kalau memang dia kesal kepadaku, mengamuklah. Lepaskan semua ganjalan itu dan selesai. Itu lebih baik daripada aku hadapi wajah dinginnya setiap hari.
Suatu ketika aku duduk di teras sekolah. Tiba-tiba dia muncul. Kukira dia akan menghadiahkanku lagi wajahnya yang dingin. Tapi ketika berada di depanku, dia seperti teringat sesuatu.
“Tek,” Dia memanggilku dengan sebutan etek. Katanya sih aku mirip etek. Tapi enggak kan. Orang cakep begini dibilang mirip etek. Apa dia sudah gila.
“Katanya kemaren mau nganterin aku?” Ucapnya dengan nada serius.
“Kamu kemarin kemana?” Aku balik tanya. “Aku lama sekali nungguin kamu.”
“Kemarin tuh ustadz Basri kelamaan beli degan dipinggir jalan itu. Aku udah bilang kalau bisa dipercepat.”
“Berarti bukan salahku”. Jawabku enteng.
“Salahmu.”
“Apa salahku?”
“Ingkar janji gak nganterin aku pulang. Bayangin, kemaren aku pulang malem-malem lewat kuburan. Serem banget tau nggk? Aku kemaleman nyampek rumah.”
“Kan yang bilang mau nungguin, kamu bukan aku.” Bantahku.
“Kamu, kamu yang kemarin bilang mau nungguin aku.” Dia mulai ngeyel.
“Kamu jangan memutar balikkan fakta donk. Udah jelas kemarin kamu yang bilang mau nungguin.” Perdebatan pun terjadi.
“Ingkar janji.” Jawabnya singkat.
“Padahal aku kemarin lama banget nungguin kamu. Karena tidak sabar aku pulang. Tapi setelah habis maghrib aku balik lagi ke sana khawatir kamu masih nungguin aku.” Jelasku sambil sedikit berbohong. Memang waktu itu aku balik lagi ke sana, tapi bukan maksud untuk nganterin dia, melainkan ada janji dengan temanku. Ku buat raut mukaku seakan seperi orang jujur. Aku tertawa geli dalam hati.
“Terus kenapa kamu gak nyusul aku?”
Aku tidak bisa lagi menjawab pertanyaannya. Aku menjadi gelagapan. Kalau dia tahu bahwa aku berbohong, pasti dia bakal marah besar. Hingga keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhku. Tapi syukurlah dia mau percaya kepadaku.
Aku dan dia pun kembali akur. Tapi tiap kali aku melihatnya dia selalu mengulurkan tangannya agar aku cium. Ogah banget aku. Lebih baik aku cium sepatu setahun gak dicuci daripada harus kucium tangannya. Kalau aku lakuin itu tandanya aku nyerah dan mengaku bersalah. Padahal kan aku tidak salah apa-apa.
Esok harinya, tiba saatnya aku dan teman-temanku melaksakan program Study Club yang ditempatkan di salah satu rumah temenku. Sebagai ketua kelas, tentu aku tidak boleh absen. Akulah yang datang pertama kali waktu itu. Tak lama kemudian temenku yang menyebalkan itupun datang. Kulihat ada kejanggalan pada dirinya.
“Tumben pake rok?” Ucapku sambil agak melirik kepadanya. Biasanya dia kan pakai celana. Entahlah kenapa sekarang dia sekarang memakai rok. Mendengar ledekanku, dia pun tersinggung. Dia mengamuk, semua benda di sekitarnya dilemparkan kepadaku. Termasuk kunci motornya. Kuambil saja kunci motornya dan kukaitkan dengan kunci motorku. Dia pun bersungut-sungut, sedang aki tertawa penuh kemenangan.
Tidak terasa, kegiatan itu sudah selesai. Aku pun berpamitan kepada temanku sebagai tuan rumah. Tapi sewaktu aku hendak naik motorku, tiba-tiba dia merampas kunci motorku. Aku berusaha merebutnya, tapi siap-sia. Dia pergi meninggalkanku. Aku terpaksa berjalan sambil mendorong sepeda motorku berharap ia kasihan melihatku, dan bermurah hati memberikan kunci motor itu. Tapi dia bener-bener keterlaluan. Dia malah pergi semakin menjauh. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengejarnya dengan mendorong motorku.
Aku bener-bener dibuat kesal. Kalau saja dia cowok, udah kupukul dia pakai botol minuman. Udah kurontokkan giginya pakai batu bata. Udah ku cewer kupingnya sampai merah. Tapi sayang sekali dia cewek. Bukannya tidak berani sama cewek, cuma gak bisa aja ngelakuin itu sama cewek. Bagaimanapun juga aku lahir dari seorang perempuan. Kalau aku nyakitin cewek, sama saja aku menyakiti ibu kandungku sendiri. Ah bener-bener menyebalkan. Yang lebih menyebalkan lagi, dia mempermalukan. Aku dibuat seperti bulan-bukanan. Hingga orang-orang pada melihatku. Untung saja mereka tidak ada yang mengenaliku.
Aku terus mengejarnya. Hingga sampai pada perbatasan desa. Dia pun berhenti. Aku menjadi lega. Diberikannya kunci motor itu kepadaku. Sambil berkata, “Ini balasannya yang kemaren. Udah lunas.” Kubuang ke bawah menghindari senyumannya yang menyakitkan. Baru kali ini aku dikerjain oleh temen cewekku. Dulu-dulunya temen-temen cewekku begitu segan jelasku. Mereka sungkan ngobrol denganku jika tidak ada kepentingan. Beda halnya dengan temanku yang satu ini. Dia suka ngerjain aku. Berbuat usil dan segala macem.
Keesokan harinya. Sengaja ungkit masalah kemarin dengannya untuk diminta pertanggungjawaban. Kukira dia akan minta maaf, tapi malah tertawa sambil berkata, “Makasih udah nganterin”.
“Dasar si tukang pemberi karma!” Jawabku kesal.
Sentol Daja, 04-04-2013