Sekelumit Kisah: Aku Menyesal Menjadi Mentor di Mentoring PAI UTM
Sekelumit Kisah: Aku Menyesal Menjadi Mentor di Mentoring PAI UTM

Sekelumit Kisah: Aku Menyesal Menjadi Mentor di Mentoring PAI UTM

- +
Via Mentoring Official
Di tengah suasana lengang, Aku duduk di atas kursi usangku bersender pada dinding yang telah disulap menjadi pagar di depan rumah kontrakanku. Aku merenung, rupanya aku telah lama berada di sini, di tengah kebisingan kota kecil ini yang sebentar lagi menginjak semester 6 tanpa memperoleh hal yang berarti.
Sejenak aku melihat kembali histori kehidupanku. Mengingat satu-persatu teman-teman seperjuangannku. Mulai teman-teman SMA hingga teman-teman yang satu-persatu mulai aku kenal sejak aku kuliah Universitas ini. O iya, aku seorang mahasiswa di Universitas Trunojoyo Madura, satu-satunya Perguruan Tinggi Negeri di Pulau garam ini.
Sambil mengingat-ingat wajah teman-temanku itu yang sudah hampir kulupa, karena jarang bertemu meskipun satu Universitas. Yah, maklum mereka sudah pada sibuk dengan kehidupan dan organisasi mereka masing-masing. Denger-denger mereka udah ada yang jadi ini jadi itu, udah ke sana ke sini ke situ, dapet ini dapet itu dan sebagainya. 
Kubuka facebook, lalu kulihat satu persatu profil mereka. Kupelototi timeline-nya dipenuhi dengan foto-foto kesibukan dan kegiatan organisasinya. Banyak pula kulihat komentar temen-temen barunya. Terasa ragu hati ini meskipun hanya sekedar ingin membubuhkan komentar ucapan selamat keberhasilannya. Akhirnya, cuma bisa lihat, baca sambil scroll, baca dan srcroll lagi, terus begitu. “Sukses bro, see you on top,” ucapku lirih. 
Teringat pula saat aku menjadi anggota paling aktif saat satu organisasi dengan mereka. Begitu banyak organisasi yang coba aku ikuti namun akhirnya kandas di tengah jalan. Bukan bermaksud berkhianat, tapi entahlah, sepertinya aku memang tidak berjodoh dengan mereka. Hingga akhirnya aku bertahan di Mentoring PAI ini.
Perlahan aku mulai meraba pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam di permukaan pikiranku. Apa yang aku peroleh di Mentoring? Apa yang bisa aku harapkan dari Mentoring? Pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk kujawab. 
Apakah pengetahuan yang mendukung perkuliahan? Aku di jurusan ilmu hukum, tidak ada kaitannya dengan matakuliah yang kuambil. 
Popularitas dan teman yang banyak? Di Mentoring jumlah mentor tidak lebih dari seratus orang itupun tidak semuanya aku kenal. 
Jalan-jalan? Jalan-jalannya ke masjid saja. 
Kalau cewek? Tiba-tiba saja jadi geli dan pengen ketawa terbahak-bahak. Ha ha ha. Masih segar ingatanku dulu ketika   diintervensi dan bahkan diintimedasi agar aku punya pacar entah apa maksudnya(aku tidak mau nyebut siapa orangnya, anda pasti tahu alasannya). Jadi mentor, sampai sekarang pun aku tidak pernah tahu batang hidung mentor akhwat-nya seperti apa. 
Kekuasaan dan jabatan? Mentoring bukan organisasi politik. Dan bukan ladang bagi-bagi kekuasaan. 
Lalu apa? TIDAK ADA. Aku tidak mendapatkan apa-apa di Mentoring. Bahkan aku hanya dibuat lelah tiap minggu tiap sore pergi ke masjid. Belum lagi ketika ngadepin mentee yang… ah sudahlah susahnya sampai lkebawa mimpi. Setelah sepuluh pertemuan selesai belum lepas penderitaan masih disuguhkan tugas menyetor nilai mentee. Belum lagi kalau ada komplain nilai dari mentee, nilai tidak ter-input di daftar nilai, dan ba-bi-bu lainnya.
Kalau boleh aku jujur, ada perasaan iri yang menggedor pintu keimananku. Meskipun hampir setengah mati aku menangkalnya. Aku benar-benar telah tertinggal jauh dari mereka. Mereka telah telah melambung tinggi dan terbang jauh kemana-mana. Sementara aku, hanya berkutat di sini saja. Seperti katak dalam tempurung. Dan ya, aku menyesal jadi mentor. Seharusnya aku tidak jadi mentor.
(Wajib baca sampai akhir)
Lalu kenapa tetap bertahan jadi mentor? Pertanyaan yang sangat cerdas. Sedikit aku akan bercerita. Segar bugar ingatanku ketika aku mencoba aktif di berbagai organisasi yang begitu menjanjikan dan memberi harapan kesuksesan masa depan. Aku tidak menilai jelek organisasinya. Tapi orang-orang yang aktif didalamnya serta doktrin yang terlalu dipaksakan kepadaku.
Sejak kecil dahulu, aku diajarkan bagaimana hidup tidak menyusahkan orang lain. Bagaimana hidup untuk membantu orang lain dengan ikhlas tanpa embel-embel pamrih. Juga indahnya memberi, karena tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah seperti yang telah diajarkan Nabi. Namun ketika aku melompat jauh ke ujung barat pulau Madura ini, semua itu seperti harus kulupakan. Bagaimana tidak? Setiap hari aku selalu diintervensi bahkan diintimidasi; bagaimana aku harus mempunyai banyak teman, kemudian bagaiman aku harus memanfaatkan teman-temanku untuk suatu kepentingan pribadi semata. Mereka pun mendengung-dengungkan bahwa kita adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama lain.
Aku tidak menutup diri untuk menjadi makhluk sosial. Tapi bukan berarti aku harus menjadi manja terhadap teman-temanku. Karena pada hakikatnya makhluk sosial tugasnya adalah memberi, bukan meminta dan selalu menuntut hak pada sesama.
Kongkritnya begini. Aku adalah pemuda miskin. Setiap hari kalau aku hendak pergi ke kampus, mesti berjalan kaki. Apakah karena aku tidak punya teman untuk mengantar, menjemput, atau pergi sama-sama ke kampus dengan motornya? Secara tegas aku katakan BUKAN itu alasannya. Bahkan tanpa  kumeminta, temen-temenku banyak menawarkan bantuan yang dengan senang hati saya terkadang menolaknya. 
Lalu apa mauku? Pola pikir seseorang menentukan terhadap sikap dan tindakannya. Aku sudah bersyukur diberikan nikmat sehat dan semangat untuk kuliah itu sudah cukup. Itu poin terpenting dalam hidupku. Sebab ketika seseorang punya motor yang dengan sekejap bisa sampai ke kampus, tetapi tidak punya semangat, ia tidak akan pernah sampai ke kampus. Paling ia hanya bisa sampai ke warung kopi. 
Darimana bisa mendapatkan semangat? Dari keyakinan. Sebab jika seseorang sudah punya keyakinan untuk sampai ke kampus kemudian kuliah, semangat itu timbul dengan sendirinya dan dengan cara apapun ia akan menghalau rintangan yang menghalanginya. Contoh, bagaimana mungkin seseorang akan mengerjakan salat jika ia tidak yakin akan adanya Allah dan kekuasaannya.
Semangat itu bukan harus loncat-loncat lho ya. Tidak ada yang dapat mengukur tingkat semangat seseorang. Meskipun orang yang terlihat santai, hidupnya seperti tak bergairah, hidup segan mati tak mau, belum tentu tidak memiliki semangat. Karena yang dapat mengukur semangat hanya dialah yang merasakan. 
(Maaf pembicaraan sudah kemana-mana)
Dari situ, aku pun merasakan apa yang sudah terjadi ini melenceng dari pendirianku selama ini. Bukan bermaksud menghindar dari masalah, tetapi aku tidak ingin menyiksa diriku sendiri. Bukankah menzalimi diri sendiri adalah perbuatan terlarang? 
Aku kemudian menarik diri dari mereka. Bukan maksudku untuk berkhianat, tapi bukankah pikiran dan cara pandang hidup kita masing-masing berbeda? Aku tidak akan memaksa mereka, kamu, atau siapapun untuk mengikuti langkahku. Tapi aku juga tidak senang jika kamu, mereka, dia, atau siapapun memaksakan kehendaknya kepadaku. Karena memaksa orang lain berarti menganggap orang itu tidak punya pikiran.
***
Waktu pun terus berputar bagai roda-roda kehidupan yang tak dapat dihentikan. Aku pun hidup seperti seorang pengembara. Tak punya tujuan apa-apa. Jika pagi tiba aku hanya menunggu waktu sore. Dan jika sore tiba aku menunggu waktu pagi. Terus begitu. Aku pun mengalami penurunan drastis, baik bidang akademik maupun mental. Indeks Prestasi pun menurun dan merosot tajam. Hampir saja aku meloncat ke dalam jurang keputus-asaan. 
Akhirnya Allah mempertemukanku dengan Mentoring ini. Setidaknya kalau kuliahku kandas di tengah jalan, ada hal yang berguna yang telah aku tanam di sini. Setidaknya ilmu yang saya ajarkan akan bermanfaat, sehingga menjadi amal yang tak akan pernah terputus sampai aku lenyap dari dunia fana ini. Begitu kiranya yang ada di pikiranku waktu itu. 
Sejak saat itu aku mencoba menemukan kembali apa yang telah hilang dari diriku. Menutup lembaran masa lalu, menatap kembali lembaran masa depan.
Seperti tidak terasa, sudah setahun lebih aku menjalani sebagai mentor di Mentoring ini. Jika kau dan mereka bertanya apa saja yang aku peroleh, dengan tegas jawabnya TIDAK ADA(coba tebak kenapa aku menulis kata TIDAK ADA dengan huruf kapital semua). Mentoring tidak memberikan sesuatu apapun kepadaku, tapi di Mentoring aku bisa berbuat sesuatu yang berguna, sekarang dan untuk masa depan, depan, dan depan sampai aku hidup lagi untuk kehidupan kekal abadi. 
Bukan karena karena apa yang aku peroleh, melainkan karena tiada yang kuperoleh itu mengajariku arti ketulusan yang sebenar-benarnya. Aku bisa belajar bagaimana indahnya bekerja tanpa embel-embel pamrih.  Juga indahnya berbagi dan memberi. Bukan meminta, menerima, apalagi menuntut yang bukan haknya. Dan lebih dari itu Mentoring bebas dari intervensi golongan dan pihak mana pun.  Ada sih di luar sana organisasi yang ada islam-islamnya gitu, tapi di dalamnya malah soal politik. Itu Ormas apa parpol? Silahkan pikir sendiri.

Bukan karena apa yang ku peroleh, melainkan karena tiada yang kuperoleh itulah mengajariku arti ketulusan yang sebenar-benarnya..

Alhamdulillah, Allah mengabulkan doaku. Kalau dibilang kebetulan, di dunia ini tak ada yang kebetulan. Setelah aku menarik diri dari kehidupan yang serba pamrih. Tuhan mempertemukanku dengan kehidupan yang selama ini kuidamkan. 

Jadi, kalau kamu, atau siapapun yang mengingkan popularitas, jabatan, apalagi pacar. Jangan pernah jadi mentor di Mentoring PAI ini. Karena semua itu tidak akan pernah kamu dapatkan, dan Mentoring tidak butuh orang-orang orang yang berniat seperti itu. 
Kesimpulannya? Kepanjang. Aku udah capek ngetiknya dan tidak fokus lagi. Rupanya aku sampai dehidrasi ringan. Kuambil segelas air yang kutuang dari botol minuman merek Aqua. Dan kuteguk. Aku pun kembali fokus. Rupanya aku salah nulis judul. Karena udah terlanjur salah. Aku jelasin di sini aja, yang bener itu judulnya “Sekelumit kisah: Aku TIDAK PERNAH Menyesal jadi mentor di Mentoring UTM“. 
Wes, udah itu aja semoga cerita ini dapat menjadikan kita tetap istiqamah di jalan Allah SWT. Jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat bukan jalan mereka yang sesat. Amin. 

Bersama Mentoring Indonesia Berkarakter!
Share  jika dirasa bermanfaat!
Diperbarui
Tambahkan Komentar
Sekelumit Kisah: Aku Menyesal Menjadi Mentor di Mentoring PAI UTM

Sekelumit Kisah: Aku Menyesal Menjadi Mentor di Mentoring PAI UTM