Batu lompatan: Segelintir kisah perjalanan pulang mudik Idul Adha
Batu lompatan: Segelintir kisah perjalanan pulang mudik Idul Adha

Batu lompatan: Segelintir kisah perjalanan pulang mudik Idul Adha

- +
Kemarin sore kita bersua kembali. Rupanya alam selalu menghendaki kita bertemu pada lelahku dalam perjalanan pulang.
Seperti biasa, menjelang lebaran aku harus mudik karena inginku merayakan Idul Adha bersama keluarga. Lelah dan membosankan sebenarnya jika harus berlama-lama di dalam angkutan. Atau bahkan berjam-jam harus diperkosa oleh suara bising kendaraan dan celotehan kernet angkot yang kutunggangi.
Temor temor temor temor temor.. uy temor uy,” begitulah kata-kata yang selalu terulang entah berapa kali.
Lebih dari itu kadang harus berbagi tempat yang pas-pasan dengan ibu-ibu, janda, atau pun nenek-nenek yang hendak pergi atau datang berbelanja di pasar. Sesekali keringat bercucuran dan menahan nafas dari segala bau yang menyengat di hidung. Hufft beginilah derita nasib dalam angkutan. Terkadang hanya aku seorang yang berjenis kelamin lelaki dari semua penumpang di situ. Tetapi jika pada momen mudik Idul Adha begini agak berbeda, karena di samping kanan-kiri depan belakang aku diapit gadis-gadis cantik. Hehe.. Oppss keceplosan.
Pagi menjelang siang aku sudah tiba di halte pertigaan jalan kampusku. Di sana sudah menunggu sebuah mini bus dengan cat warna merah siap berangkat mengantarkan penumpangnya menuju kota Pamekasan. Segera ku naik dan masuk kedalamnya. Rupanya masih kosong. Kupilih tempat duduk yang strategis dua kursi dari belakang. Sambil menunggu keberangkatan mini bus, ku otak-atik handphoneku sekedar untuk blogging. Satu-persatu penumpang bus mulai masuk mencari dan memilih tempat duduk.
Aku tertegun sejenak, tiba-tiba di sampingku telah duduk seorang perempuan cantik merangkul tasnya yang seperti tersisi penuh. Penumpang pun semakin banyak, hingga kursi-kursi itu penuh dan sedikit berdesakan. Sesekali kulirik perempuan itu. Ma Syaa Allah, cantik sekali, ehem.. Entah bagaimana aku akan mendeskripsikan wajahnya. Pokoknya, caantiiik sekali menurut seleraku.
Mini bus berangkat menciptakan angin masuk melalui celah jendela bus. Aku hanya terdiam mematung, begitupun dengan perempuan itu. Tak ada satu katapun keluar dari mulut kami. Bus melaju dengan cepatnya, hingga kami gonjang-ganjing akibat jalan yang dilewati berlubang-lubang. Sesekali kami tak sengaja saling berpandangan walau sebentar. Astaghfirullah, setan apa yang telah menyusup ke dalam mataku. Hingga segitu terpesona akan kecantikan perempuan ini. Sesekali seakan kudengar bisikan di telinga. “Kenapa kau tak mengajaknya kenalan? Setidaknya kalau dia bukan jodohmu, kau bisa menikmati tubuhnya barang semalam.” STOP!! Enyahlah setan JAHANNAM. Enyahlah..!!! Jeritku dalam hati mengusir nafsu setan itu.
Tak ada gunanya mengajaknya kenalan, toh hanya sekali ini saja aku bertemu. Tak perlu susah payah berusaha mengenal dan berusaha bertemu kembali. Sebab pertemuan pertama akan membuat penasaran. Sedang pertemuan ke dua akan menyisakan kerinduan. Aku tak mau merindu. Dan aku tidak mau tersiksa karena rindu. Soal jodoh, biarlah takdir yang akan mempertemukannya. Kenapa mesti merisaukan hal yang sudah pasti?
***
Seakan tidak terasa tiga jam perjalanan berlalu. Mini bus itu telah membawaku sampai di kota Pamekasan. Aku berhenti dan turun tepat di depan pintu gerbang rumah kosan salah seorang temanku seorang penulis hebat, itu dia Inel Iskandar. Terlihat rumah itu nampak sepi. Mungkin sang penulis hebat itu sudah mudik. Ku raba handphone di saku celanaku. Astaghfirullah, lowbat. Bagaimana aku akan menelpon orang rumah unruk meminta jemputan.
Ku bergegas saja menuju terminal dan alhamdulillah bus sudah menunggu yang akan mengantarkanku untuk pulang. Sejuk sekali hembusan AC bus itu hingga aku terlelap sebentar.
“Pak, depot Suka Peramah,” ucapku pada kondektur bus seraya mendekati pintu.
“Tag tag tag…,” kondektur bus memukul dinding bus mengisyaratkan untuk berhenti tepat di depan depot itu.
“Kaki kiri lebih dulu,” ucap lagi kondektur bus itu mengingatkanku agar tidak terjatuh.
Kususuri jalanan pedesaan yang lebarnya tak lebih dua meter itu. Panas matahari menusuk-nusuk kulitku. Sekali ku berandai, kalau saja ada awan yang menemani perjalananku dan melindungiku dari panas matahari. Seperti yang terjadi pada Nabi Muhammad. Namun sayang, itu hanya mimpi. Tak ada selembar awan pun yang memayungiku.
Hingga sampailah perjalan pada suatu tempat yang membuatku kembali menciptakan bayanganku yang lugu berjalan mengiringiku. Teringat saat masih SMA, ketika pulang sekolah berjalan kaki. Dengan seragam putih abu-abu dan sepatu usang yang selalu kukenakan. Ah rasanya baru kemarin peristiwa itu. Kususuri jalan setapak, belum ada perubahan apa-apa. Sama seperti dulu saat aku mondar-mandir di jalan ini. Semua kenangan aku mengingatnya. Tempat pemberhentian ketika lelah, saat meminta mangga pada nenek yang baik hati itu, atau saat meminta jambu air untuk melepas dahaga, atau ketika meniru ayam kelaparan saat memakan juwit.
Akhirnya tiba di suatu tempat yang juga sangat berarti. Batu lompatan. Yaah batu lompatan itu tak kalah saing untuk menciptakan kenangan di hatiku. Entah kenapa hatiku merasa begitu sedih. Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Aku ingin banyak bercerita banyak tentang batu ini. Tapi entahlah seakan jariku terasa berat untuk menuliskannya.
Kepulanganku kali ini bertemu dengan batu itu lagi. Semoga doa munajatku terkabul sebagaimana dulu ia menjadi teman setiaku ketika aku melepas lelah dan bermunajat kepada sang Panguasa Alam Semesta.
Diperbarui
Tambahkan Komentar
Batu lompatan: Segelintir kisah perjalanan pulang mudik Idul Adha

Batu lompatan: Segelintir kisah perjalanan pulang mudik Idul Adha