Aku Hanyalah Si Miskin yang Bodoh, Bukan Si Manja yang Pemalas
Aku Hanyalah Si Miskin yang Bodoh, Bukan Si Manja yang Pemalas

Aku Hanyalah Si Miskin yang Bodoh, Bukan Si Manja yang Pemalas

- +
Hai, ingin sekali menyapamu pagi ini, walau sebenarnya aku khawatir kau merasa terganggu dengan sapaanku. Merasa tidak nyaman karena disapa oleh pemuda miskin sepertiku.
Lihatlah sepatuku itu! Usang dan berdebu, karena setiap hari dipakai kuliah dengan berjalan kaki. Lihatlah rumahku! Ia hanyalah tumpukan batu juga bambu yang dianyam padu, sekedar untuk berlindung dari panasnya siang dan dinginnya malam. Dan lihatlah tempat tidurku! Bukan bentangan kasur yang empuk, melainkan hanya barisan bambu-bambu berbuku.
Bukan mengeluh, tetapi itu adalah realita yang aku terima. Aku pun tidak ingin muluk-muluk. Aku ingin hidup sederhana saja, begini saja. Asal ada ketulusan jauh membuatku bahagia. Aku hanya butuh semangat untuk bekerja, untuk berbuat sesuatu yang berguna.
Aku tidak punya apa-apa selain mimpi. Iyaah, mimpi. Semua ini berawal dari mimpi. Aku bekerja keras untuk meraih mimpi. Berbekal keyakinan, semangat, dan tekad yang kumiliki. Aku dapat melangkah sejauh ini. Bukan maksudku untuk menjelaskan kehidupanku agar kau mengerti. Tidak, sesekali tidak. Melainkan daku menuliskannya sekedar untuk memotivasi diri. Semoga menginspirasi.
Suatu ketika, aku sedang dalam perjalanan ke suatu tempat. Dengan baju koko jingga dan sarung warna coklat, kususuri trotoar dengan diiringi desahan bunyi sandal jepit yg kutunggangi. Tak lupa, kopyah presiden warna hitam pun sedari tadi bertengger di kepalaku. Membuat anak-anak layangan yang nongkrong di pinggir jalan memandangiku dengan sinis. Sesekali pun membuat orang-orang yang sedang makan di warteg menghentikan makannya sekedar melihatku. Tampaknya mereka memandangku sebagai orang aneh.
Tiba-tiba seseorang menghentikan langkahku.
“Pak, mau kemana?” tanyanya, aku memang sering dipanggil dengan sebutan “Pak” walau usiaku belum terlalu tua dan belum memiliki anak.
“Aku…(seraya berpikir) aku…” jawabku tidak tuntas karena ragu-ragu.
“Aku kenapa? Hayoo.. Mau kemana?” tanyanya kembali sedikit memaksa, ia pun mulai melempar tawa.
“Hmm… Aku mau..(menghentikan jawaban sejenak) ke masjid,” sambil menurunkan volume suaraku.
“Ayo aku anter!” ajaknya bersemangat.
“Hmm, gak usah deh. Makasih,” jawabku sambil melempar senyum. Kemudian kuberanjak pergi.
“Pak, tunggu. Mari kuantar,” paksanya.
“Nggak usah,” jawabku lagi diiringi senyum kian lebar.
“Loh, kenapa, Pak? Biar tidak capek,” tanyanya lagi sambil memberi alasan.
“Di dunia ini tidak ada kata capek, ia hanyalah omong kosong dari orang yang malas. Dan malas itu sebenarnya juga tidak ada, ia hanyalah omong kosong dari orang yang tak mau ikhlas bekerja.”
“Bukan motor yang dapat mengantarkanku ke sana (lanjutku sambil menunjuk ke arah tujuanku), tapi keyakinan dan semangat.  Aku bersyukur telah diberi nikmat oleh Allah dapat berjalan kaki. Lantas mengapa harus bermanja-manja dengan membuat repot orang lain. Tidak semua orang sudi direpotkan. Oleh karena itu, kita harus belajar mandiri dan tidak bergantung pada sesama,” jelasku panjang lebar bagai Pak Kiyai sedang pidato di atas panggung.
Saudaraku, di zaman yang serba mudah ini. Zaman yang serba lengkap dengan berbagai fasilitas yang pernah ada. Terkadang hanya membuat waktu kita terbuang percuma. Semoga kita semua terhindar dari rasa malas, dan diberikan semangat dan tidak berputus asa dari Rahmat Allah SWT. Amin.
Diperbarui
Tambahkan Komentar
Aku Hanyalah Si Miskin yang Bodoh, Bukan Si Manja yang Pemalas

Aku Hanyalah Si Miskin yang Bodoh, Bukan Si Manja yang Pemalas