Petikan Kisah: Pahit Getirnya Menjadi Mahasiswa Baru
Petikan Kisah: Pahit Getirnya Menjadi Mahasiswa Baru

Petikan Kisah: Pahit Getirnya Menjadi Mahasiswa Baru

- +
Selamat datang mahasiswa baru. Tentu kalian adalah para lulusan SMA/SMK/MA yang masih lugu dan polos. Namun sebentar lagi kalian akan dibawa pada dunia angker yang mengerikan. So, siapkan dirimu dengan sebaik-baiknya.

Bukan nakut-nakutin, hanya ingin membuat kalian siuman bahwa kuliah tidak seindah tayangan di kebanyakan sinetron itu. Aku pernah menjalaninya dan mengalaminya. Tidak akan jauh berbeda, sedikit banyak kalian akan mengalaminya pula. Tapi tenanglah, tidak perlu khawatir dan tidak perlu cemas. Semuanya akan berlalu. Tetaplah berpegang teguh pada apa yang telah kau yakini itu benar.
Aku hanya akan berbagi sedikit kisah, yang berarti bagiku pada waktu awal kuliah. Mudah mudahan ceritaku ini dapat memberi manfaat dan memotivasi agar kita tidak berputus asa dari Rahmat Allah. Bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya, Maha Adil, Maha Hidup dan Maha Penyantun.
Mana cupu (ilustrasi)
—-++—-
Sore itu, aku baru saja sampai di tempat kosku setelah seharian berkeliaran di kampus. Ah rupanya aku sampai lupa untuk makan. Lambung perih pun mulai terasa karena sedari pagi belum ada sedikitpun makanan yang menyusup kedalam perutku. Ku periksa dompetku, hanya tersisa 20 ribu. Cukuplah buat beli dua porsi makanan untuk hari ini dan besok. Entah lusa pun harus makan apa.
Malam pun segera turun. Aku bergegas masuk kedalam kamar dan bersiap untuk mandi. Tiba-tiba salah seorang teman kosku pun meminta untuk meminjam uang dua ribu rupiah.
“Kalau dua ribuan tidak ada, uangku hanya tersisa dua puluh ribu.”
“Tidak apa dua puluh ribu, sisanya nanti tak kembalikan”. Sanggahnya.
Tanpa pikir panjang, aku pun memberikan uang itu. Sementara aku melanjutkan niatku untuk mandi. Malam pun semakin larut. Perih lambung karena sehari belum makan pun mulai terasa lagi. Aku berusaha sedikit bersabar barang-sebentar walaupun perut ini pun sudah muali berdemonstrasi.
Daripada menunggu hal yang tak pasti, aku berusaha mencari solusi dengan jalan lain. Akhirnya aku berinisiatif menjual hapeku satu-satunya itu. Barangkali laku lah 60-70an ribu, pikirku. Kubuka Facebook dan langsung menuju Grup Jual Beli HP Bekas.
“Dijual HP Cross bla bla bla…”
Tak lama kemudian beberapa orang pun menawar HP itu dan langsung diajak COD, akhirnya aku pun berhasil mendapat uang untuk membeli nasi sekedar mengganjal perut yang semakin perih.
Lima hari kemudian, uang hasil penjualan HPku satu-satunya itupun sedikit demi sedikit pun mulai habis. Aku tidak tau harus bagaimana untuk mendapatkan duit lagi walau hanya sekedar untuk bertahan hidup. Apalagi waktu itu aku masih maba, cari pinjaman duit pun susah karena belum banyak akrab dengan orang-orang di lingkungan ini. Pulang pun, di rumah juga pasti tidak ada duit.
Pulang kuliah aku berhenti di sebuah warteg, membeli nasi dan lauk ala kadarnya dengan uangku yang masih tersisa. “Kalau aku makan sekarang, besok aku makan apa?” Pertanyaan semacam itu pun mulai menghantui pikiranku. Akhirnya sebelum makan aku berdoa:
“Ya Allah, aku sudah tidak punya uang lagi. Aku juga tidak punya apa-apa untuk ku jual. Kenyangkanlah aku dalam beberapa hari ya Allah..”
Doaku terhenti, tertahan oleh air mata yang mulai membasahi pelupuk mata ini. Untung saja hari sudah gelap, sehingga tidak menarik perhatian orang-orang yang sedang makan di warung itu.
Esok harinya, setalah shalat Jumat aku pun berputar otak bagaimana caranya agar dapat mengganjal rasa lapar ini. Siang panas itu, aku pulang dari kampus dengan berjalan kaki meskipun jaraknya berkelo meter. Biasanya kalau pulang pergi ke kampus harus naek angkot, karena letak tempat kosku memang jauh dari kampus.
Sampai di tempat kos, aku bergegas menyusuri jalan raya depan kosku yang mengarah ke Pelabuhan Kamal dengan membawa sebuah kepingan MemoryCard. Berharap akan ada orang maupun toko seluler yang dapat membeli MemoryCard itu. Sambil ditemani celotehan bunyi kendaraan yang berlalu-lalang, aku terus berjalan sambil sesekali berhenti untuk menawarkan barang milikku satu-satunya yang masih ku punya itu. Perjalanan pun semakin jauh hingga aku dapat melihat kapal-kapal itu berlalu lalang di pelabuhan Kamal. Mungkin sekitar 4 kilometer perjalanan telah aku lalui dengan berjalan kaki. Sementara aku pun belum berhasil menjual MemoryCard itu. Dengan gontai aku pun kembali dengan membawa harapan yang pupus.
Setibanya di tempat kos, aku bergegas masuk ke kamar mandi untuk sekedar meneguk air PDAM sebagai obat dahaga dan lambung yang mulai perih. Tempat kos-ku pun mulai sepi karena penghuni-penghuninya sudah banyak yang pulang kampung. Ku nikmati rasa sepi yang mencekam, beserta teriakan perut yang sedang demontrasi karena seharian belum makan.
Keesokan harinya, aku berencana untuk menemui teman dan kenalanku untuk dimintai pinjaman duit. Tapi aku tidak tau dimana tempat kosnya, dan aku pun tidak bisa menghubungi mereka sebab HP ku sudah kujual satu Minggu sebelumnya. Aku pun terus berjalan dengan harapan bertemu dengan orang yang aku kenal untuk dimintai bantuan. Setelah berkelana kesana-kemari tidak ada satu orang yang kukenal pun yang kutemui di jalan. Akhir perjalananku kemudian menuju masjid untuk sekedar meneguk air kran di masjid mengobati dahaga dan lapar, walaupun itu tidak seberapa. Kemudian shalat.
Kembali aku pulang dengan harapan yang pupus dan tidak sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutku. Rasa perih di perut ini pun semakin menjadi-jadi. Hingga aku harus mengikatnya dengan ikat pinggang yang dikencangkan. Hari ini adalah hari kedua aku tidak makan. Dengan sisa-sisa tenaga aku tetap optimis dan mencoba tidak putus asa.
“Ya Allah, Engkau yang Maha Dekat dengan hamba. Yang Maha Mengetahui segalanya tentang hamba. Engkau adalah zat yang menguasai hamba, wahai Rabb Penguasa seluruh alam. Engkau Maha Kuasa atas segala-galanya. Maka tunjukkanlah kuasamu. Hamba sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan. Akankah hamba harus menjadi pengemis dan meminta-minta hanya sekedar untuk mengganjal perutku yang terasa sangat lapar. Hamba tidak tau harus berbuat apa. Bukakanlah jalan fikiran hamba, agar hamba tidak berputus asa dari rahmat-Mu. La Haula wala quwwata Illa billahil aliyyil adzhiim. Hanya kepadamu ya Rabb aku serahkan segala urusanku…” Aku seperti tidak sanggup melanjutkan doa munajatku. Mulutku seperti tidak mampu berucap dan berganti isak tangis yang pilu. Aku yakin Tuhan pasti mendengar keluh kesah dalam hatiku. Karena Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Esok harinya lagi, aku tetap berusaha untuk tidak berputus asa dari Rahmat Allah. Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku tetap memutar otak dan berkeliling untuk sekedar bisa makan. Namun hingga sore itu masih belum ada sebutir makanan pun yang masuk kedalam perutku. Rasa perih di perut pun semakin menjadi-jadi. Kecewa dengan usahaku yang gagal. Aku kemudian dan singgah di bawah pohon kendal(pohon yang buahnya bisa dijadikan lem).
“Ya Allah, inikah yang dimaksud keadilan? Waktu teman-temanku butuh pinjaman duit, aku dengan mudah memberi pinjaman. Sedangkan ketika aku butuh, bahkan sampai tiga hari tidak makan, tidak seorang pun sudi memberiku pinjaman. Apakah ini adil?” Kekecewanku pun semakin memuncak, hingga tak kuasa ku bendung air mataku mengalir di pipiku dan leherku bercampur dengan keringat akibat terlalu lelah berjalan kaki.
Tiba-tiba aku seperti tersadar dari suatu mimpi. Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada diriku. Sudah tiga hari tidak ada makanan sedikitpun masuk ke dalam perutku. Tapi kenapa aku masih kuat berjalan kaki ke sana-kemari? Seakan-akan tenagaku ini masih utuh, hanya saja perut ini semakin terasa perih. Yaah, bukankah yang memberi hidup itu Tuhan? Bukankah Makanan hanya menjadi pelantara? Tersadar dari kesalahanku yang telah menyalahkan Tuhan atas ketidak adilan ini. Aku kembali menangis sejadi-jadinya.
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah berburuk sangka kepadamu. Sekarang aku sadar dan akan selalu meyakininya bahwa engkau adalah Tuhan yang Maha Adil dan Maha Kuasa atas Segalanya. Aku mohon ampun kepada-Mu atas segala dosaku. Aku Mengakui engkau adalah Tuhanku, dan aku mengakui dosa-dosaku. Maka ampunilah dosaku, karena sungguh tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali engkau.. Jika engkau berkehendak untuk mencabut nyawaku karena aku kelaparan, sungguh tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghalangi kehendak dan kuasa-Mu. Hamba ikhlas, jika memang sudah saatnya aku kembali kepadamu. Hanya satu pintaku. Ampunilah segala dosa-dosaku ya Rabb.. ampuni dosa-dosaku..”
Aku benar-benar pasrah waktu itu. Semua dosa yang pernah ku lakukan mulai terbayang satu-persatu. Ku biarkan saja air mataku terus mengalir. Sambil menggerakkan kakiku untuk melangkah pulang.
Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari balik teras rumah yang sama sekali tidak aku kenal. Tanpa banyak pikir aku langkahkan kaki menuju orang itu. Sebab kalau orang itu mau merampok, aku tidak punya apa-apa untuk dirampok. Akhirnya aku dibawa ke suatu rumah oleh seorang perempuan setengah tua. Dalam pikiranku masih bertanya-tanya apa maksud orang ini membawaku ke sini.
“Ini rumahku nak, …”
Ucap perempuan itu sambil menanyakan asal usulku ala kadarnya. Dia kemudian menyuruhku menunggu di teras. Rumah itu begitu sederhana terbuat dari anyaman bambu dan dipadukan dengan papan kayu sebagaimana layaknya rumah khas Madura.
“Kira-kira orang ini entar bawa apa keluar? apa yang akan dia berikan kepadaku? Seorang putri cantik, atau sebuah labu yang berisi emas permata?” Ah pikiranku mulai ngelantur membayangkan nasibku seperti pada sinetron-sinetron itu.
Tak lama kemudian orang itu menenteng plastik kresek yang di dalamnya penuh dengan sesuatu.
“Ini ada mangga nak, kalau mau di makan.”
Seketika hatiku menjerit.. “Syurga ya Allah.. Maa Syaa Allah ini syurga. Allahu Akbar. Bener-bener rejeki yang tidak pernah disangka-sangka.”
Aku menerima mangga-mangga itu dan tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih. Setelah mengucapkan salam, aku bergegas pulang. Aku berhenti di pinggir sawah untuk memakan mangga-mangga itu, saking dari laparnya sampai aku makan dengan kulit-kulitnya. Ku nikmati setiap gigitan mangga itu dengan air mata yang mengalir deras karena haru dengan kejadian ini.
“Sungguh ini adalah rejeki yang tidak terduga. Ya Allah, ampuni aku karena telah pernah berburuk sangka kepadamu. Banyak sekali nikmat yang telah aku ingkari. Sekarang aku mengakui dosaku, dan segala nikmat yang telah engkau berikan kepadaku. Maka ampunilah aku, sungguh tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain engkau.. Dan sesungguhnya tidak ilah yang patut disembah selain engkau. Ya Aziz, ya Ghaffar ya Rabbal Alamiin.”
Kejadian ini tidak pernah aku lupakan. Walaupun yang berikan orang ini hanya berupa mangga, tapi aku merasa sangat berhutang budi. Lantas, bagaimana aku akan melupakan jasa dan budi kedua orang tuaku, sementara setiap hari mereka selalu memberiku makan. Sejak dalam kandungan, hingga saat ini pun dan pernah meminta balasan. Bahkan ketika aku jauh dari mereka, saat mereka meneleponku tak henti-hentinya menanyakan aku sudah makan apa belum. Lalu ku jawab “Sudah..”, bukan bermaksud membohonginya, tapi aku hanya tidak ingin mereka khawatir dengan keadaanku yang semakin kurus akibat kurang makan. Terimakasih bapak, ibu…
Diperbarui
Tambahkan Komentar
Petikan Kisah: Pahit Getirnya Menjadi Mahasiswa Baru

Petikan Kisah: Pahit Getirnya Menjadi Mahasiswa Baru