Gadis Rumah (Perempuan di balik tabir part 6)
Gadis Rumah (Perempuan di balik tabir part 6)

Gadis Rumah (Perempuan di balik tabir part 6)

- +

Senja turun, maghrib segera tiba. Burung walet berterbangan di angkasa. Sesekali turun menukik untuk mengais rezeki di danau dekat rumah. Aku mematung di teras, membayangkan, menghayalkan apa yang akan terjadi nanti saat aku tiba di rumah.

“Sam, sudah mau maghrib, cepet mandi, nanti setelah maghrib berangkat!” pertintah ibuku. Aku tak manjawab, tetapi langsung beranjak mandi.


***

Selesai shalat maghrib, aku bersiap-siap dan berganti pakaian.

“Pakai pakaian dengan rapi, pakai yang lengan panjang, biar lebih sopan. Ingat, jangan main HP ketika ada di sana. Jangan batuk-batuk, jangan sampai ingusan. Pokoknya kamu harus sopan, biar kamu di terima,” perintah ibu kembali. Aku tidak menjawab.

Segera kuambil bajuku yang baru dibeli bulan lalu. Baju batik lengan panjang. Tak apa lah, aku pakai batik. Secara ini adalah bajuku paling bagus yang kumiliki, yang lain sudah pada kusut, dan belum disetrika. Menang bukan batik mahal, karena aku hanya membelinya seharga 50 ribu di pasar tradisional. Warnanya kuning keabuan, ada sedikit hijau. Sementara bawahannya, kupakai sarung Mang** yang kudapat hasil sedekah dari teman lebaran lalu. Sedang di kepalaku, sudah bertengger songkok presiden warna hitam. Dimiringkan sedikit layaknya presiden Soekarno.

“Ingat, jangan main HP ketika di sana. Dengarkan jika ada orang bicara, jawab jika ditanya,” ibu mengingatkanku kembali. Kuletakkan HP di kamar, malam ini aku bertekad tidak akan membawa HP, agar ibu merasa tenang dan tidak selalu waswas.

“Ayo berangkat, aku antar ke ‘dhalem’ (rumah) Kiyai Asmarakandi,” ucap ayahku sambil menyalakan motor butut. Seperti cerita sebelumnya, ayahku tidak ikut, tetapi segala hal lamaran ini di pasrahkan pada Kiyai Asmarakandi. Sementara pamanku sebagai sopir, rumahnya bersebelahan dengan dhalem Kiyai Asmarakandi, jadi langsung berangkat dari sana.

Sesampainya di dhalem Kiyai Asmarakandi, di sana telah siap. Kiyai Asmarakandi sudah menunggu dan siap berangkat, sementara paman menyalakan mobil pick-up-nya.

Bismillah, kami bertiga berangkat ke rumahnya. Jujur, aku gelisah, entahlah. Walau sebelumnya dikatakan bahwa aku diterima, tetapi aku sendiri masih waswas. Jangan-jangan setelah aku sampai di rumahnya, keputusan menjadi berbeda karena aku menggunakan mobil pick-up. Ah, semoga saja tidak demikian dan aku tetap di terima.

“Sam, rumahnya di mana?” Tanya paman saat telah melewati perbatasan kapupaten Sumenep Super Mantap.

“Di Larangan Luar, Om, setelah kantor Polsek Larangan, ada pertigaan, lalu ke utara,” jawabku. Aku memang sudah tahu letak rumahnya, sebab dulu pernah ke sana, untuk memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak. Karena aku sebagai tukang servis panggilan, keluarganya memintaku untuk ke sana, memperbaiki rice cooker, receiver TV, kipas, blender, printer, dan Laptop. Tetapi sampai saat itu, aku belum jelas dengan lekuk wajahnya, dia tetap perempuan di balik tabir, senang bersembunyi di balik tingginya tabir. Dia menemuiku sekadar menghidangkan teh jahe karena dipaksa oleh bapaknya membuatkannya untukku.

“Ini, tehnya di minum dulu, Akh,” ucapnya. Aku hanya mengangguk, aku tak sanggup melihat wajahnya, aku malu, dan aku pun tahu dia tak akan sudi untuk kulihat. Maafkan.

***

Perjalanan terus berlanjut, mobil melaju dengan pelan, tetapi terasa sangat cepat. Sebantar saja mobil sudah sampai di pertigaan seperti kataku pada paman tadi.

“Belok kanan, ya?” Tanya paman.

“Iya, kanan, Om,” jawabku. Sein menyala sebalah kanan, mobil pick-up yang kami tunggangi berbelok ke utara. Semakin dag-dig-dug rasanya. Semoga saja diberi kelancaran.

Mobil terus melaju ke utara, sesampainya di depan kartor KUA, di seberang jalan adalah rumahnya, namun aku tertegun dan hanya melihat ke seberang jalan. Hingga lupa untuk menyuruh paman berhenti. Rumah itu masih sama dengan dulu waktu aku ke sana. Rumah yang mewah, dindingnya mengkilat, lampunya terang menderang, dan pagar alas yang terbuat dari tembok, lengkap dengan pintu gerbang yang kokoh.

“Om, berhenti! Sudah lewat,” ucapku pada paman, seraya menepuk pundaknya.

“Duh, kok sampe lewat,” paman sergera menepikan mobil pick-up-nya. Lalu berbelok kembali ke selatan.

“Pelan-pelan saja, Om. Di depan itu, rumahnya,” bilangku pada paman.

Mobil perlahan melaju. Dan aku makin gelisah. Bagaimana kalau paman memarkir mobilnya sampai masuk halaman.

“Itu yang depan, Om,” seraya ku menunjuk pada suatu rumah.

“Pelan, jangan parkir di halaman, parkir pinggir jalan saja mobilnya,” pinta Kiayai Asmarakandi pada paman. Syukurlah.

“Berarti tidak masuk halaman, Kiyai?” Tanya paman.

“Jangan, di sini saja,” jawab Kiyai Asmarakandi saat mobil sudah sampai tepat di depan rumahnya, namun tidak sampai depan pintu gerbang.

Kami bertiga lalu turun, memasuki gerbang beriringan. Terlihat calon bapak mertuaku duduk di teras rumah.

“Assalamualaikum,” Kiayi Asmarakandi memanggil salam.

“Waalaikumsalam …” jawabnya sambil ke halaman untuk menyambut. Kami berjabat tangan. Lau dipersiakan masuk dan duduk.

Sebentar kemudian seorang pemuda, dia adiknya; calon iparku, datang dengan membawa beberapa gelas teh dan beberapa makanan jenis kue.

“Silakan …” kami dipersilakan mencicipi hidangan dan teh yang telah disiapkan.

Setelah basa-basi dengan berbagai percakapkan, mulai dari asal daerah tinggal, kondisi alam sampai ekonomi. Akhirnya Kiayai Asmarakandi berkata.

“Sesungguhnya, kami datang ke rumah ini, hendak memastikan, apakah benar di rumah ini ada seorang gadis. Apakah masih sendiri, atau sudah ada yang melamar? Jika belum ada yang punya, belum ada yang melamar, saya membawa seorang lajang, barangkali cocok dan bisa diterima menjadi bagian keluarga ini.”

Suasana hening seketika, aku berharap cemas. Aku hanya menunduk menunggu jawaban. Sebantar, namun terasa sangat lama sekali.

“Saya sangat berterima kasih, kepada Bapak Kiayi dan rombongannya telah sudi datang ke rumah ini,” ucap salah seorang dari yang menenmui kami, beliau ada Mbahnya menurut percakapan sebelumnya. Tetapi usianya belum terlalu tua, suaranya masih lantang dan berwibawa. “Perihal apakah benar di rumah ini ada seorang gadis, benar. Ada seorang gadis bernama Ziadatur Rahmah, kalau dia yang di maksud, dia masih sendiri dan belum ada yang melamarnya, tetapi … ”

Tiba-tiba menggantung, beliau menghentikan bicaranya sebentar, tetapi terasa sangat lama, aku gelisah, menunggu apakah lamaran ini akan di terima atau akan ditolak. Oh, Tuhan berikanlah kemudahan dan yang terbaik.

Diperbarui
Tambahkan Komentar
Gadis Rumah (Perempuan di balik tabir part 6)

Gadis Rumah (Perempuan di balik tabir part 6)