Yang Kutunggu (Perempuan di balik tabir part 5)
Yang Kutunggu (Perempuan di balik tabir part 5)

Yang Kutunggu (Perempuan di balik tabir part 5)

- +

[Ana ngikut pilihan orang tua, jika pilihan jatuh pada akhi, syukur alhamdulillah semoga berjodoh dunia akhirat. Tetapi jika pilihan jatuh pada lelaki itu, ana minta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga akhi mendapat jodoh yang lebih baik dariku. Secara pribadi, ana memilih akhi, bagiku, akhi paling (emoticon jempol) dah pokoknya. Tetapi keputusan ada pada orang tuaku, doakan yang terbaik.] balasnya lagi, jawaban yang sedikit menenangkan, terutama pada kata “akhi paling (emoticon jempol)”, entah walau apakah dia hanya ngapusi atau apa, jelas aku tersanjung.

Hari demi hari berlalu, sedang aku masih menunggu. Tak ada yang bisa kulakukan, kecuali bersabar, beraktivitas sebagaimana biasa, dan kusebut namanya dalam doa-doaku.

Sengaja aku tak menghubunginya lagi, sebab aku ingin melatih diri, mempersiapkan diri kalau nanti bukan aku yang terpilih mendampingi hidupnya maka aku harus iklash menerimanya. Agar aku tidak terjatuh dalam sebuah keterpurukan. Walau seakan berat rasanya, tapi aku yakin itulah yang terbaik, Tuhan sudah menyiapkan jodoh terbaik untuk kita, kita hanya wajib berusaha, hasil biarlah Allah yang menentukan.

Hari Minggu tepatnya, hari yang kutunggu setelah 2 minggu lamanya menunggu. Bolak-balik cek HP, belum ada kabar darinya. Apakah dia lupa, atau sengaja tidak memberiku kabar, karena bukan aku yang terpilih.

Ting … Pesan WA masuk.

[Assalamualaikum, Akhi. Afwan sudah dibuat menunggu. Afwan jika sebelumnya ana sempat ragu. Namun akhirnya ana kembali yakin, bahwa akhi adalah yang terbaik. Setelah melalui ikhtiar dan hasil istikharah, orang tuaku memutuskan untuk memilih dan menerima akhi. Semoga diberikan kemudahan menuju jenjang pernikahan yang diridhai-Nya. Sekali lagi, maaf jika telah membuat menunggu terlalu lama,] kubaca chat WA tersebut berulang, khawatir salah baca. Kucubit pipi dan lenganku sendiri takut kalau aku sedang bermimpi. Ah, sakit, namun senang bukan main, aku tidak sedang bermimpi.

***

“Mak!” Kupanggil ibu yang sedang duduk si kursi teras rumah, mungkin beliau melepas lelah sehabis mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aku beranjak dan duduk di kursi sebalahnya.

“Apa?” Beliau menoleh ke arahku.

“Kapan akan melamarnya?”

“Aku sudah meminta hari dan tanggal yang baik pada kakekmu,” kakekku memang ahli dalam menentukan hari dan tanggal bagus untuk melaksanakan hajat, beliau punya banyak perimbon. Walau sebenarnya aku tak yakin dengan hal begituan, tetapi ya karena ini adalah adat istiadat, maka aku harus ikut apa kata orang tua.

“Tanggal 1 Jumadil Akhir, kamu boleh ke sana untuk melamar,” segera ku beranjak mencari kalender. Kudapati kalender berwarna hijau dominan terpajang di dinding rumah. Kuperhatikan dengan seksama, kucari tanggal 1 Jumadil Akhir, hari Sabtu, malam minggu, dan masih 2 pekan lagi. Ah, lama sekali pikirku. Tetapi lagi-lagi aku harus bersabar menunggu, karena tergesa-gesa tidak baik dan termasuk perbuatan dari setan.

***
Malam itu, sebuah panggilan masuk dari teman lamaku, Abot namanya. Dia adalah teman bermainku dulu saat masih remaja. Kami punya kesamaan hobby, dia hobby-nya “sound system” sedang aku sebagai teknisinya. Jadi dulu aku dan dia selalu bersama dengan hobby yang saling melengkapi. Tetapi sejak aku merantau untuk kuliah, dia menikah dan tinggal di rumah mertuanya.

Dia sering bercerita susah senangnya menjalani kehidupan keluarga, terutama terkait perekonomian. Usianya lebih muda satu tahun dariku, tetapi soal pengalaman urusan rumah tangga tentu dila lebih dahulu berpengalaman. Dia menikah saat masih sekolah.

Dulu, aku sering main ke rumah di mana ia tinggal di rumah mertuanya, namun karena istrinya sering kali ngambek saat aku ke sana, aku jadi tidak enak hati. Katanya, kalau si Abot sedang bersamaku, dia mengabaikan sang istri, walaupun hanya beberapa jam saja. Wajar kan melepas rindu dua sahabat, kami memang bersahabat sejak kecil.

“Assalamualaikum,” sapanya dari seberang.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabku lengkap. “Eh, lu masi idup to?” Lanjutku.

“Asem, kira udah koid, apa?”

“Ya, habisnya gak ada kabar,” belaku.

“Eh, iya ada kabar angin kayaknya.”

“Angin apa? Angin topan apa angin tornado? Apa angin supra-X?”

“Hanya angin sepoi-sepoi,” jawabnya.

“Dari mana anginnya tuh? Dari timur ke barat, selatan ke utara, tak jua kutemukan?” sambil menirukan lirik lagu dari Wali band.

“Serius nih, serius, Aku nelpon ini ingin memastikan kabar angin, tadi aku mendengar kabar angin masuk telinga, jadi aku mau tanya sesuatu.”

“Apaan?” Perbincangan mulai serius.

“Katanya kamu mau menghalalkan seseorang?”

“Hah, denger dari siapa?” tanyaku memastikan.

“Ada deh pokoknya, benar apa tidak?”

“Minta doanya, Bung, semoga dimudahkan,” jawabku.

“Wah, kapan tuh?”

Jegelg … tiba-tiba menjadi gelap, tut … tut … tut … sambungan telepon terputus. Rupanya, mati lampu. Di daerahku, kalau ada pemadaman listrik, signal HP mendadak juga ilang, bisa dipastikan tidak akan bisa berkirim pesan, panggilan, apalagi koneksi internet, semuanya terhenti seketika.

Sementara diri ini masih bertanya-tanya, dari mana temanku tahu perihal aku yang akan meminang seorang perempuan. Kehidupan di desa, memang begitu, ada kabar sedikit langsung menyebar luas, walau tidak ada broakest, tetapi penyebaran berita begitu cepat dari mulut ke mulut.

**

Siang itu, sepulang aku mengajar dari sekolah, ibu langsung menghampiriku.

“Nanti malam sudah tanggal 1 Jumadil Akhir, ayahmu sudah meminta bantuan Kiayi Asmarakandi untuk meminangkan wanita itu untukmu. Ayahmu tidak cakap soal lamar-melamar. Jadi nanti malam kamu berangkat bersama Kiayi ke sana,” Kiayai Asmarakandi adalah sesepuh sekaligus tokoh agama di kampungku, sudah kebiasaan, untuk urusan pinang-meminang, orang-orang di kampungku biasa meminta bantuan beliau.

“Nanti malam pakai mobil pamanmu, jadi kalian bertiga ke sana.”

“Mobil paman? Pick-up itu?”

“Ya,” jawab ibuku mantap.

“Pakai mobil pick-up? Mengapa tidak menyewa mobil lain saja, aku akan membayar biaya rentalnya,” tawarku pada ibu.

“Jangan!” Kakekku tiba-tiba datang dan menyambung bicara. “Biar nanti kamu tidak dikira orang kaya, biar calon mertuamu tau kalau kamu bukan orang berada,” lanjutnya.

“Kenapa tidak pakai sepeda motor saja? Kenapa harus Pick-up?” protesku mengiba.

“Nanti kalau dijalan hujan bagaimana? Itu menghambat perjalanan,” tegas kakekku.

Aku hanya bisa pasrah atas apa yang akan terjadi nanti, apakah lamaranku tetap akan ditetima atau justeru akan ditolak. Jujur aku khawatir dan gelisah.

Diperbarui
Tambahkan Komentar
Yang Kutunggu (Perempuan di balik tabir part 5)

Yang Kutunggu (Perempuan di balik tabir part 5)