“Laki-laki lain”, kata yang masih terhalang oleh tanda tanya besar dalam diri ini. Apakah dia sudah ada yang melamar? Atau akal-akalan semata untuk menolakku.
Tanganku gemetar memegang gawai ini, ngilu rasanya jari ini untuk mengetik walau sekadar memastikan apakah dia sudah dalam lamaran lelaki lain, itu artinya usahaku 100% gagal. Tak perlu mundur “alon-alon”, tapi harus mundur secepatnya. Sirna harapan bertabur kesedihan yang mandalam.
Dalam keraguan, kucoba membalas chat – nya, memastikan, walau aku khawatir jawaban yang di dapat membuat luka ini semakin perih.
[Apa Ukhti sudah ada yang melamar? Ukhti menerimanya?]
[Tidak] balasnya singkat, apa maksudnya, sungguh membingungkan. Lagi-lagi dia membalas tidak lengkap. Kuketik balasan untuk menanyakan maksudnya. Tetapi chat baru muncul di bawahnya.
[Hanya ada seseorang yang rencananya hendak melamar]
[Lalu, apakah aku masih ada harapan?] Terkirim, namun tak kunjung dibalas. Walau kulihat dia sering online.
Kecurigaan mulai tumbuh, apa mungkin karena beberapa bulan ini aku jarang menghubunginya, lalu dibuat nyaman oleh lelaki lain, melupakan janjinya. Sungguh bukan seperti ini dia yang kukenal dulu. Tidak, dia tidaklah seperti itu.
Ku kirim chat lagi, tetapi hanya berisi emoticon sedih, semoga saja dia sadar aku menunggu balasannya.
[Beri ana waktu berpikir] balasnya.
[Sampai kapan?]
[Sampai ana kembali yakin]
[Kutunggu] hanya itu balasan chat-ku yang langsung centang biru pertanda sudah dibaca namun tak dibalas.
Sungguh tidak nyaman rasanya, digantung, tak ada kepastian, menjalani hari-hari menunggu jawaban yang meragukan. Jika memang tidak bisa menerimaku, mengapa tidak langsung menolaknya saja, mengapa masih menyiksa diri ini dengan sebuah harapan dan ketidakpastian.
Tiga hari berlalu, chat belum dibalas juga. Aku tak enak hati kalau ngechat lagi sebelum dia membalas, sebab aku sudah bersedia menunggu, artinya aku harus sabar menunggu entah sampai kapan. Aku hanya dapat melihat terakhir dia online, untuk siapa dia online, mengapa sampai detik ini belum juga dibalas, apakah melupakannya?
Siang itu, kucoba memejamkan mata, padahal aku tak terbiasa tidur siang. Namun, waktu terasa lama karena menunggu, ku harap dengan tidur dapat mempercepat waktu.
Bangun tidur …
[Assalamualaikum, Akhi, maaf sudah menunggu. Maaf juga kalau sebelumnya ana sempet ragu. Ana udah bicarakan dengan orang tua ana. Sebenarnya ada dua lelaki yang hendak masuk(melamar), salah satunya adalah akhi. Karena itu, ana dan orang tua harus istikharah terlebih dahulu untuk meminta yang terbaik. Kami minta waktu 2 minggu, setelah 2 minggu nanti ana kabarin. Jangan khawatir, kalau memang kita berjodoh insyaallah ada kemudahan, tapi jika tidak, semoga Allah memberi jodoh yang terbaik untuk kita, doakan yang terbaik untuk kita] lagi-lagi jawaban yang menggantung. Apakah ini sebuah penolakan secara halus, apakah istikharah ini hanya akal-akalan belaka untuk menolakku. Oh, tolonglah jangan menyiksaku dengan sebuah tidakpastian. Tiga hari menunggu sudah bagai tiga bulan, apalagi ini selama 2 minggu, dan aku masih harus menunggu.