Hai Kawan! Namaku Syamsul Arifin. Aku biasa dipanggil samsul. Walaupun waktu kecil dulu aku kerap kali dipanggil “ripin” di kampung halamanku.
Aku seorang mahasiswa kawan, jurusan ilmu hukum Universitas Trunojoyo Madura, satu-satunya perguruan tinggi negeri di Madura.
Aku hanyalah seorang pemuda yang senang melamun, dari sebuah desa terpencil sana. Sekarang aku terlempar jauh sampai ke ujung barat pulau Madura ini. Di sinilah aku meneruskan lamunanku. Yaa… aku bisa sampai di tempatku yang sekarang ini, memang gara-gara aku senang melamun.
Meskipun aku kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri, tapi nasibku rupanya tidak begitu baik. Seperti sepatuku itu, usang dan kotor karena setiap hari dipakai kuliah dengan berjalan kaki. Kuliah- pulang, Kuliah lagi, pulang lagi. Begitulah orang-orang sering menyebutnya mahasiswa kupu-kupu.
Sesekali kadang aku iri dengan teman-temanku yang prestasinya telah menjulang tinggi. Kuliah rapat, kuliah rapat. Atau kami biasa menyebutnya mahasiswa kura-kura. Ya.. mereka mahasiswa yang energic, dambaan para calon mertua, dan idola cewek-cowok sekampus.
Sejenak aku mencoba flashback beberapa tahun lalu. Saat Aku dan mereka masih menjadi mahasiswa lugu, cupu, dan belum tau apa-apa. Saat menjadi bulan-bulanan kakak tingkat waktu ospek, atau ketika selalu rombongan saat hendak masuk kelas maupun ke kantin. Dan sekarang mereka telah menemukan teman-teman sejatinya, menemukan tempat yang nyaman sesuai karakternya, dan mulai membuka pintu-pintu kesuksesannya. Ada yang jadi Presma, Ketua DPM, Gubernur BEM, ketua HMP, Ketua ini ketua itu, juara ini juara itu. Sementara aku di sini saja, dan masih mempertahankan gelar Mahasiswa Kupu-Kupu.
Sekarang aku sudah menginjak semester tujuh, dimana aku bakal dihadapkan dengan jurus-jurus pamungkas. Ya itulah dia, magang…, kkn…, dan skripsi. Ku lihat kawan-kawan seperguruanku memulai mempersiapkan diri dengan ketiga ajian pamungkas tadi. Sedang aku hanya berkutat di sini, bersama tulisan-tulisan blog ini.
Bukan karena aku sombong, meremehkan, ataupun tidak mau peduli. Aku masih mencoba untuk berfikir realistis saja. Bahwa akan ada banyak beban tanggung jawab dan beban moral ketika kelak sudah menyandang gelar sarjana. Begitu miris kalau aku bertemu guru-guruku dulu dan menanyakan, “Setelah sarjana rencananya apa? Jadi apa? Jangan di sini. Di sini kamu tidak akan jadi apa-apa”. Padahal mereka dulu yang mengajariku dalam kajian kitab ta’limul mutaalim tentang niat mencari ilmu. Dalam kitab karangan Syekh Az-Zarnuji itu jelas sekali menerangkan apa saja yang sepatutnya diniatkan atau tidak bagi seorang pencari ilmu. Tapi apa gunanya kalau kitab yang bagus itu hanya menjadi kajian rutinitas dan tidak diamalkan.
Aku seorang mahasiswa hukum, tapi sejujurnya aku tidak pernah punya cita-cita jadi pengacara, jaksa, maupun hakim. Itulah sebabnya aku salalu kesulitan menjawab saat ditanya “kamu cita-citanya apa?”.
Pada dasarnya aku memang tidak pernah punya cita-cita, kecuali sekedar membalas budi orang orang yang berpiutang budi kepadaku. Masih segar ingatanku, waktu dulu hendak berangkat merantau untuk kuliah pertama kalinya. Orang di sekitarku antusias memberiku uang saku untuk bekal hidup di perantauan. Ibu bapakku, paman bibiku, kakek nenekku, dan tetangga-tetanggaku, mereka seakan menaruh harapan besar atas keberangkatanku kelak barangkali kalau sudah kembali dapat berguna untuk mereka. Bagaimana tidak, aku adalah orang satu-satunya yang memberanikan diri untuk kuliah di keluarga ini. Di kampung ku, Aku adalah satu-satunya orang yang mendapatkan beasiswa penuh atau bidik misi yang menjadi dambaan semua anak lulusan SMA itu.
Namun sekarang, setelah beberapa tahun aku dalam pengembaraanku, aku seperti belum memperoleh apa-apa. Bahkan aku hanya menjadi pemuda pemalas yang hanya ongkang-ongkang kaki ketika pulang kampung. Aku sengaja ketika hendak makan memilih warung yang sepi. Bukan karena apa, sebab setiap seduhan sendok nasi pun harus ku campur dengan tetesan air mata karena tidak kuasa atas kesalahan ini. Untuk apa, aku di sini makan yang enak begini. Sementara yang dimakan kedua orang tuaku dirumah hanya paduan nasi jagung dan lauk seadanya sebagai pengganjal lapar.
“Bapak, Ibu, maafkan anakmu. Aku telah gagal menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Aku telah dzalim kepada diriku sendiri. Kepada kalian berdua. Dan kepada orang orang orang yang peduli kepadaku.”
Aku kadang merasa malu, ketika ada orang yang mengelu-elukan tentang aku yang bisa kuliah di perguruan tinggi negeri tanpa biaya. Padahal mereka tidak tau nasibku yang sebenarnya. Semenjak aku kuliah, Ayah ibuku pun sepertinya juga enggan mengajakku untuk ikut bekerja di beberapa petak tanah itu. Menggarap sawah dan mencangkul ladang. Mungkin menjaga perasaanku yang gengsi karena menyandang gelar mahasiswa.
Aku pernah merasakannya bagaimana susahnya walaupun hanya sekedar ingin makan. Waktu dulu aku masih ikut bekerja mencangkul ladang, bercocok tanam tanaman jagung, memupuknya, hingga tanaman jagung itu tumbuh tinggi. Disitulah harapan-harapan panen jagung yang berlimpah itu didambakan. Tapi, apalah daya tanaman jagung itu pun seketika semuanya roboh diterpa angin dan hujan lebat. Dengan mata berkaca-kaca aku hanya bisa memandangi tanaman-tanaman jagung itu yang seketika menjadi seperti lapangan sepak pola yang acak acakan dan rata dengan tanah.
Bukannya aku tidak mau berjuang sama halnya teman-temanku yang sudah berprestasi itu. Tapi aku merasa kehidupan kampus tempatku kuliah ini tidak sesuai dengan karakterku. Entah siapa yang patut disalahkan. Tidak ada.. Kecuali hanya salahku sendiri. Kehidupan kampus memang tidaklah seperti tayangan-tayangan dalam sitetron-sinetron itu.
Dulu aku sempat berfikir bahwa di kampusku ini tidak orang tulus, yang ada hanya orang orang berembel pamrih. Begitulah suasananya saat aku terlibat dalam politik kampus. Dimana kita harus bermuka manis di depan dan bermuka masam di belakang. Semua saling menyerang. Omong kosong dengan argumen – argumen idealis yang mereka lontarkan.
Akhirnya Tuhan mempertemukan aku dengan orang-orang yang memang aku dambaan. Meskipun aku harus meninggalkan jalan popularitas itu dan menjadi mahasiswa kupu-kupu. Tapi setidaknya aku mendapatkan ketenangan.
Tapi pada dasarnya, hutang budi tetap hutang yang di bayar. Hutang budi akan selalu di hati dan akan dibawa mati. Kalau aku tidak bisa membahagiakan orang tuaku di dunia setidaknya aku harus dapat membahagiakannya nanti di alam kubur dan di akhirat. Karena salah amal yang tidak akan pernah terputus adalah anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya. Maka menjadi anak shaleh harus menjadi tujuan utama. Sebab begitulah cara dari sekian cara seorang anak untuk membalas budi dan jasa kedua orang tuanya.