Malam semakin larut, kutidur di atas pembaringan. Semenjak aku dibeli olehmu dari peternak ayam petelur di kampung sebelah, aku kau tinggal sendirian, kesepian, dan kedinginan.
Malam terjadi keributan, kau mendekapku. Mungkin kau takut kehilanganku. Mengangkatku perlahan menuju baskom. Kau memandikanku. Byuurrr … dinginnya. Kau membasuh kotoran-kotoran di tubuhku, tahu sendiri kan aku lahir dari dubur ayam. Banyak sekali bekas tahi ayam yang harus bersihkan.
Setelah bersih, kembali kau mendekapku, mengosokku dengan secarik kain. Lama sekali kau timang-timang aku.
Kau ambil panci dan kau letakkan di atas kompor. Sementara tangan kiri masih mendekapku. Aku tak mengerti maksudmu.
Telur |
Kau tuang air ke dalam panci. Cekelk … api kompor menyala. Kau kembali menatapku. Kau timang aku dengan mata berkaca-kaca. Entah apakah kau sedih akan berpisah denganku atau kau masih ngantuk karena bangun malam sebelum jam 12.
Tiba-tiba kau mendengus, dan melemparku ke dalam panci. Ah, hangatnya. Rupanya kau tau aku kedinginan. Lama-kelamaan air menjadi makin panas, panas dan panassss … air pun mendidih mengeluarkan gelumbung-gelembung uap. Panas sekali, tapi aku harus bertahan, ini demi kamu. Agar kamu tidak terjangkit virus corona yang katanya mematikan itu.
Yah, kutahu. Samar-samar kudengar tadi kau mendapat telepon. Di seberang, bercerita soal bayi baru lahir yang langsung bisa ngomong, ah seperti nabi isa saja. Bayi itu menyuruh agar merebus telur dan memakannya malam ini., agar kau terhidar dari virus corona. Entah kesurupan setan mana, kau pun percaya.
Lama aku bersemidi di dalam air mendidih, tubuhku menjadi mengeras. Kau tersenyum bahagia. Sungguh kau bahagia di atas deritaku.
Kau angkat aku menggunakan sendok, lalu melemparkan aku kembali ke dalam air dingin. Sungguh kau mempermainkanku. Kau panaskan aku, kan dinginkan aku seketika. Sudah tau aku tak sanggup hidup dalam cuaca ekstrem. Tapi tak mengapa, ini demi kamu. Sekali lagi ini demi kamu. Agar kau tidak mati oleh virus corona.
Sekitar 10 menit kau mendiamkanku dalam mangkok berisi air dingin. Kau mangangkatku, lalu membenturkan kepalaku ke tembok. Cekrrkkk .. aww … kulitku retak. Namun kau tanpa merasa bersalah terus mengulitiku. Hingga aku telanjang bulat, nampak kulit dalamku yang putih mulus.
Beberapa detik kemudian, kau masukkan aku ke dalam mulutmu. Sedikit demi sedikit kau mengunyahku. Sungguh, aku harus sabar atas kelakuanmu. Ini demi kamu.
Perlahan aku masuk ke tenggorokanmu, turun ke lambungmu. Lagi-lagi kau mengguyurku dengan air. Kini tubuhku hancur lebur dalam perutmu.
Kau kembali membaringkan tubuhmu, sementara aku menjalani topo broto dalam perutmu.
***
Pagi harinya, kau berlari-lari keluar rumah. Entah akan kau bawa aku lari ke mana. Sementara aku ingin cepat-cepat keluar dari gua yang sesak ini. ‘Sebentar lagi aku pasti keluar,’ gumamku.
Setelah berlari-lari kecil. Sampailah kau ke kebun jati dekat rumahmu. Tiba-tiba kau jongkok. Eeee’ … preett … yeeyy, akhirnya aku bisa keluar juga. Kau tinggal aku sendiran di tengah kebun jati, kau campakkan aku, mungkin karena wajahku kini telah menguning kecoklatan, kau tak sudi lagi mendekapku. Bahkan melihatku pun kau tak sudi. Jahatnya dirimu, habis lezat ampas dibuang.
Matahari mulai naik, tubuhku mengkilat terkena cahaya yang lolos dari dedaunan pohon jati. Tiba-tiba datanglah seeokor ayam betina, dia menghampiriku.
“Hai, ayam, met pagi,” sapaku, tapi dia tidak menjawab.
“Waaww … ada makanan lezat nih,” ucapnya. Tanpa babibu langsung mencabik dan memakanku dengan rakus.
Kini aku telah pindah alam menuju perut ayam betina. Aku terus berporoses menjadi energi, hingga aku dikeluarkan lagi dalam bentuk rupa yang makin menghitam. Coklat agak kebiruan. Ah, sama ayam ini dekan kau, habis lezat ampas dibuang. Aku terbuang di sebuah ladang yang banyak tertanam pohon jagung. Rupanya di sinilah akhir dari cerita hidupku.
Namun rupanya, salah … pasukan akar-akar jagung kamudian menghantamku, memakanku dengan rakus. Kini aku hidup dalam sebatang pohon jagung. Semoga kelak kau memakan jagungnya.
Sekian, catatan dari sebutir telur. Ini kisahku. Mana kisahmu?