“Mereka berdua berteman sejak masih kuliah,” jawab Kiayi Asmarakandi.
“Berarti sudah mengincar sejak lama, hehe,” sambung pamannya sambil sedikit tertawa. Kami yang di tempat itu ikutan tertawa.
“Baiklah, kalau begitu lamaran ini kami terima. Karena sebelumnya kabar Ananda untuk melamar sudah sampai, jadi kami sekeluarga sudah bermusyawarah, ikhtiar, dan istikharah, dan kami sepakat untuk menerimanya.” Aku tak bisa menahan sungingan bibir ini untuk tersenyum. Senang bukan main, lamaranku diterima. Kurarik nafas, dan kuhembuskan dengan lega.
“Terima kasih, karena sudah merima lamaran ini, insyaallah minggu depan tanggal 10 Jumadil Akhir, kami akan ke sini bersama orang tua Ananda ini.” Jawab Kiayi Asmarakandi sambil menunjukku. Musyawarah berlanjut mengenai teknis acara pertunangan aku dengannya. Hingga setelah menghasilkan mufakat, kami dihidangkan jamuan makanan.
***
Pulangnya, setelah sampai di rumah. Ayah, Ibu serta Kakek telah menunggu di depan rumah. Mereka menyusulku ke ruang tamu, untuk menanyakan perihal lamaran ini.
“Bagaimana?” Kata Ibu.
“Diterima,” jawabku.
“Terus?”
“Tanggal 10 Jumadil Akhir katanya Ibu dan Bapak mau ke sana? Lalu satu minggu setelahnya orang sana akan kemari, dan akan memberi jawaban atas pilihan tanggal pernikahan.”
Kujelaskan kepada Ibu, Ayah, Kakek runtut selama ada di sana. Namun lebih jelasnya aku arahkan ke Kiyai Asmarakandi. Langsung kakek dan Bapakku berangkat menemui Kiayi Asmarakandi di dhalem-nya.
***
Hari berlalu, kini persiapan untuk acara pertunangan di minggu depan. Kami sekeluarga mempersiapkan hal-hal yang akan dibawa saat acara nanti, seperti cincin, baju, kerudung, alat-alat kecantikan, pisang, dan beberapa jenis kue.
[Akhi, ana boleh minta sesuatu?] Tiba-tiba ada WA Masuk.
[Boleh jiddan (banget), apa emangnya?] Jawabku.
[Tetapi, jangan bilang-bilang kalau aku yang minta ya,] balasnya.
[Iyya, ayo apa?]
[Afwan jiddan, nanti kalau bisa jangan bawa mobil pick-up lagi ya, soalnya di sini tidak biasa menggunakan mobil pick-up] tuh benar kan jadi malu begini akhirnya.
[Oh, iya baiklah, Ukh. Maaf kemarin itu bukan kehendakku, saya sebenarnya tidak mau, tetapi orang tua memaksa khawatir dikira orang kaya katanya. Maaf banget ya,] balasku malu dan menyesal.
[Syukran, Akhi, Afwan, ini tidak memberatkan, kan?]
[Insyaallah tidak, Ukhti tenang saja,] balasku.
***
Siang itu, tiba-tiba aku mendapat WA darinya setelah pagi harinya aku berpesan untuk hati-hati dan tidak ngebut di jalanan, karena kebiasaannya kalau bawa motor selalu ngebut.
[Kenapa kamu selalu khawatirkan aku, kamu suka ya sama aku?] Begitulah isi pesan WA atas namanya.
[Ini ukhti Rahmah kan?] Balasku, karena tidak biasanya tidak chat seperti itu.
[Iya, Akhi] balasnya. Tetapi aku menjadi rada curiga. Mengapa bertanya seperti itu.
[Kalau tidak, saya tak akan sejauh ini,] balasku disertai emot sedih.
Setelah itu lama tidak di balas lagi. Tidak biasanya dia mengabaikan chat-ku.
Sampai esok harinya, tiba-tiba dia menelpon. Tumben, apa ada hal yang penting.
“Halo, Assalamualaikum, Akhi?” Sapa dari seberang.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabaku.
“Maaf mau tanya, kemarin ada yang balas chat pakai nomor WA saya?”
“Iya, emangnya kenapa, Ukh?” Tanyaku penasaran.
“Chat bagaimana? Apa chat kita ada bahasannya tentang pertunangan ini?” Saya baca chat percakapan kemarin.
“Owh, yasudah, biar tahu aja sekalian,” jawabnya di akhir.
“Maksudnya, siapa yang tahu?”
“Kemarin HP-ku ada yang ambil,” jawabnya.
“Siapa yang ambil? Hpnya sudah kembali?”
“Gak tahu, temen mungkin, iya sudah kembali, yasudah afwan ya sampai di sini dulu, assalamualaikum…” jawabnya sambil menutup telepon.
Aku masih penasaran apa yang sedang terjadi, tetapi aku urungkan untuk bertanya kembali, khawatir dia jadi ilfeel. Tetapi mengapa dia begitu takut sepertinya, acara pertunangan ini diketahui temannya? Ada apa ini? Rahasia apa yang dia sembunyikan?